MEMPERTAHANKAN KARYAWAN MELALUI GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Evi Thelia Sari
Universitas Ciputra Surabaya
Abstrak
Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen sumber daya manusia adalah mempertahankan karyawan yang telah direkrut dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kegagalan mempertahankan karyawan yang menyebabkan tingginya labor turn over diawali oleh ketidakpuasan dari para karyawan akan hal-hal yang bersifat material dan non material. Bersifat material, misalnya upah yang rendah, fasilitas yang minim dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat non material, misalnya penghargaan sebagai manusia, kebutuhan untuk berpartisipasi dan sebagainya (Nitisemito,1991:167-168). Sehubungan dengan hal tersebut, agar karyawan selalu konsisten dengan kepuasannya maka setidak-tidaknya perusahaan selalu memperhatikan lingkungan di mana karyawan melaksanakan tugasnya misalnya rekan kerja, pimpinan, suasana kerja dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya (Koesmono, 2005). Faktor pimpinan dalam hal ini lebih banyak berhubungan dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki pimpinan tersebut dalam berhubungan dengan karyawan dan tugas-tugasnya. Salah satu gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan transformational. Adapun faktor-faktor kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (1990) adalah idealized influence charisma, inspirational motivation, intellectual stimulation dan individualized Consideration. Artikel ini mendeskripsikan bagaimana gaya kepemimpinan transformasional dapat digunakan untuk usaha mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan, dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi, sehingga mereka merasa betah bekerja di sebuah perusahaan.
Keywords: mempertahankan karyawan, labor turn over, gaya kepemimpinan transformasional, faktor-faktor kepuasan karyawan
PENDAHULUAN
Fenomena bisnis yang ada beberapa waktu terakhir ini menunjukkan kemajuan yang pesat dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia di dalam perusahaan. Bagaimanapun juga sebuah perusahaan tidak akan beroperasi dengan baik apabila sumber daya manusia yang dimilikinya tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan sumber daya manusia suatu perusahaan tidak hanya meliputi bagaimana merekrut calon karyawan dan penempatannya, tetapi juga dalam hal mempertahankan mereka agar merasa betah bekerja di perusahaan tersebut. Ketidakmampuan mempertahankan karyawan akan memicu tingginya tingkat turn over karyawan. Meskipun wajar jika karyawan yang tidak betah di suatu perusahaan akan mencari peluang di tempat yang lain. Tetapi akan menjadi suatu yang tidak wajar dan merugikan bila karyawan di suatu perusahaan sering keluar-masuk. mengingat biaya untuk melakukan suatu rekrutmen sangat besar belum lagi waktu dalam proses wawancara sampai dengan penerimaan karyawan. Tidak ada perusahaan yang ingin menyia-nyiakan biaya, waktu bahkan energi yang telah dikeluarkan untuk proses rekrutmen. Belum lagi biaya untuk pelatihan karyawan yang tentunya tidak murah.
Dengan alasan seperti itulah maka suatu perusahaan perlu memikirkan cara untuk mempertahankan karyawannya, tentu saja dengan cara-cara yang tidak menimbulkan biaya besar untuk penerapannya. Setidaknya, pemimpin di perusahaan perlu mengetahui faktor-faktor apa yang membuat karyawan tidak betah atau tidak puas. Faktor-faktor ketidakpuasan dari para karyawan bisa bersifat material dan non material. Bersifat material, misalnya upah yang rendah, fasilitas yang minim dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat non material, misalnya penghargaan sebagai manusia, kebutuhan untuk berpartisipasi dan sebagainya (Nitisemito,1991:167-168).
Sehubungan dengan hal tersebut, agar karyawan selalu konsisten dengan kepuasannya maka setidak-tidaknya perusahaan selalu memperhatikan lingkungan di mana karyawan melaksanakan tugasnya misalnya rekan kerja, pimpinan, suasana kerja dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya (Koesmono, 2005). Faktor pimpinan lebih banyak berhubungan dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki pimpinan tersebut dalam berhubungan dengan karyawan dan tugas-tugasnya. Seorang karyawan akan merasa lebih puas dan betah bekerja di suatu perusahaan apabila dihargai, dimanusiakan dan kebutuhannya untuk bersosialisasi dan mengaktualisasi dirinya bisa terpenuhi. Dalam teori Maslow, setelah terpenuhinya kebutuhan mendasarnya, karyawan akan membutuhkan kebutuhan sosial dan penghargaan serta aktualisasi diri. Karena itulah, fungsi pemimpin dalam suatu perusahaan dalam pengelolaan karyawannya adalah sangat penting bagi kemajuan perusahaan tersebut.
Dengan alasan di atas maka seorang pemimpin perlu memiliki orientasi pada manusia dalam hal ini adalah karyawannya dengan cara menjadi pimpinan yang sabar dan berempati kepada bawahannya. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa ada sekelompok karyawan yang justru termotivasi untuk bekerja lebih giat apabila mereka dalam kondisi tidak tertekan, meskipun tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa karyawan akan lebih terpacu untuk bekerja bila atasan mengawasi terus menerus atau jika diperlukan disiplin yang tinggi.
Ada banyak cara memimpin yang ditunjukkan oleh seorang atasan atau pimpinan yang dipengaruhi oleh gaya kepemimpinannya (leadership style). Akan tetapi dalam hal artikel ini hanya akan dibahas mengenai gaya kepemimpinan transformational (transformational leadership style) yang ditunjukkan dengan bertindak sebagai seorang guru atau pelatih yang baik serta mendorong pemecahan yang kreatif atas masalah yang ada. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan ini masih cocok untuk diterapkan lingkungan kerja yang kontemporer.
Penelitian ini membahas mengenai gaya kepemimpinan transformasional berdasarkan model kepemimpinan transformasional yang dicetuskan oleh B.M. Bass (1985) seperti tertulis dalam buku Peter G. Northouse (2004:174-176) adalah idealized influence charisma, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration dan hubungannya dengan usaha mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan, dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi, sehingga mereka merasa betah bekerja di sebuah perusahaan.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam paper ini adalah: bagaimana gaya kepemimpinan transformasional dapat digunakan untuk usaha mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan, dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi, sehingga mereka merasa betah bekerja di sebuah perusahaan
TUJUAN PENELITIAN
Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya kepemimpinan transformasional dan menghubungkannya dengan usaha mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan, dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi, sehingga mereka merasa betah bekerja di sebuah perusahaan, sehingga dapat membantu perusahaan untuk mengurangi tingkat labor turn over-nya.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepemimpinan
Menurut Lussier dan Achua (2004:5), kepemimpinan atau leadership adalah
“…the process of influencing leaders and followers to achieve organization objective through change.”
Dalam bukunya, Peter G. Northouse (2004:3) menyebutkan ada 4 komponen yang dapat diidentifikasi sebagai pusat fenomena kepemimpinan, yaitu:
- Kepemimpinan adalah proses, berarti bahwa kepemimpinan bukan merupakan atribut atau karakteristik yang tinggal di dalam diri pemimpin, tetapi suatu kejadian transaksional antara pemimpin dan pengikutnya.
- Kepemimpinan melibatkan pengaruh, artinya bahwa kepemimpinan sangat berhubungan dengan bagaimana pemimpin mempengaruhi pengikutnya. Tanpa pengaruh, kepimpinan tidak akan ada.
- Kepemimpinan terjadi dalam konteks kelompok, berarti kepemimpinan terjadi dalam kelompok. Pengaruh yang dimiliki bisa untuk mempengaruhi kelompok itu sendiri, atau secara individual dalam kelompok.
- Kepemimpinan harus memiliki tujuan yang hendak diraih, berarti bahwa kepemimpinan harus bisa mengarahkan kelompok pada tujuan yang hendak diraih.
Adapun atribut-atribut yang harus ada untuk menjadi pemimpin yang efektif, adalah:
Dominance
Pemimpin yang berhasil harus selalu ingin menjadi ‘manajer’ dan mau mengambil peranan.
High Energy
Pemimpin harus kerja keras untuk mencapai tujuan. Mereka punya stamina dan dapat mentoleransi stress dengan baik. Pemimpin harus antusias dan tidak boleh menyerah.
Self confidence
Dalam satu kontinum dari kuat ke yang lemah, self confidence akan mengindikasikan apakah pemimpin yakin dengan penilaian, keputusan, ide-ide dan kemampuannya.
Locus of control
Kontinum sisi eksternal dan internal menggambarkan bahwa pemimpin percaya adanya segala sesuatu yang mengontrol kehidupan mereka. Pemimpin yang memiliki kecenderungan externalized percaya bahwa mereka tidak bisa mengontrol diri mereka dan garis hidup mereka sendiri sehingga perilaku mereka menyebabkan kinerja yang kurang baik. Sedangkan pemimpin yang internalized mempercayai bahwa mereka sanggup mengontrol diri dan garis hidup mereka, sehingga dalam kinerjanya, mereka tampak lebih baik. Pemimpin juga harus bertanggung jawab atas siapa mereka, terhadap perilaku dan kinerja mereka dan organisasi. Internalized cenderung berorientasi masa depan, menyusun tujuan dan mengembangkan rencana-rencana untuk mencapai tujuan. Sedangkan externalized cenderung menolak perubahan.
Stability
Stabilitas di dalam topik ini berhubungan dengan efektivitas manajerial dan pengembangan. Pemimpin yang stabil adalah yang secara emosional mampu mengontrol diri mereka sendiri.
Integrity
Intergritas menunjukkan terhadap perilaku yang jujur dan beretika. Integritas yang tinggi dari seorang pemimpin dapat membuat orang lain atau bawahannya sangat percaya terhadapnya.
Intelligence
Biasanya pemimpin memiliki kecerdasan di atas rata. Hal ini penting untuk berpikir kritis, memecahkan masalah dan bahkan membuat keputusan.
Flexibility
Fleksibilitas menunjuk pada kemampuan untuk menyesuaikan dengan berbagai situasi. Tanpa fleksibilitas, pemimpin tidak akan berhasil, karena pemimpin tidak dapat mengandalkan situasi yang sesuai dengan gaya / style mereka sendiri.
Sensitivity to others
Sensitivitas terhadap orang lain ini menunjukkan pengertian kepada anggota kelompok sebagai individu, sesuai dengan posisi mereka dan berkomunikasi dengan mereka (anggota/karyawan) sebaik mungkin dan mempengaruhinya. Hal ini perlu empati. Dalam ekonomi global, perusahaan perlu pemimpin yang people-centered karena kesuksesan financial pada masa mendatang akan berdasarkan pada komitmen manajemen yang memperlakukan manusi sebagai aset yang berharga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan
Dalam bukunya, Hani Handoko (2001:307-308), Mary Parker Follett mengembangkan hukum situasi, yaitu tiga variabel kritis yang mempengaruhi gaya pemimpin, yaitu:
1. pemimpin
2. pengikut dan bawahan
3. situasi.
Ketiga hal di atas saling berhubungan satu dengan yang lain. Selain itu Follett yang menyatakan para pemimpin seharusnya berorientasi pada kelompok dan bukan berorientasi pada kekuasaan.
Sementara itu, seorang peneliti, Edwin Ghiselli (1971) dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability), terutama dalam pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses.
Kecerdasan mencakup kebijakan, kreativitas dan daya pikir
Ketegasan (decisiveness) atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan tepat.
Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
Inisiatif atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru (inovasi)
Sedangkan Keith Davis (1972) merangkumkan empat ciri atau sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi yaitu:
Kecerdasan
Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial
Motivasi diri dan dorongan berprestasi
Sikap-sikap hubungan manusiawi.
Beberapa hal yang mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan menurut Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmift (1973 :162-164), seperti dituliskan oleh Hani Handoko (2001 :309) adalah :
Kekuatan-kekuatan dalam diri manajer yang mencakup
- sistem nilai
- kepercayaan terhadap bawahan
- kecenderungan kepemimpinannya sendiri
- perasaan aman dan tidak aman
Kekuatan-kekuatan dalam diri pada bawahan, meliputi :
- kebutuhan mereka akan kebebasan
- kebutuhan mereka akan peningkatan tanggung jawab
- ketertarikan dan kemampuan dalam menangani masalah
- harapan mengenai keterlibatan dalam pembuatan keputusan
kekuatan-kekuatan dari situasi, seperti:
- tipe organisasi
- efektifitas kelompok
- desakan waktu
- sifat masalah
Gaya Kepemimpinan / leadership style
Penelitian ini akan menyoroti gaya kepemimpinan tranformasional yang dimiliki oleh wanita. Gaya kepemimpinan sendiri, menurut Lussier dan Achua (2004 :65) adalah kombinasi dari trait (atribut), skill (keahlian) dan behavior (perilaku) yang digunakan oleh pemimpin untuk berinteraksi dengan pengikut (karyawan). Meskipun gaya kepemimpinan berdasarkan pada traits dan skill, akan tetapi komponen penting adalah behavior (perilaku), karena merupakan pola kepemimpinan yang relatif konsisten.
Berikut ini beberapa jenis gaya kepemimpinan, yaitu :
1. University of IOWA Leadership Style
Pada tahun 1930 Kurl Lewin mencetuskan dua tipe gaya kepemimpinan, autocratic leadership style yang cenderung untuk memerintah bawahan untuk melakukan apa yang diinginkan pemimpin. Selain itu, tipe ini menghendaki adanya pengawasan yang ketat pada karyawan. Sedangkan tipe yang kedua democratic, yang menginginkan adanya pastisipasi dalam pengambilan keputusan, bekerja sama dengan karyawan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dan tidak melakukan pengawasan yang ketat terhadap karyawan.
2. University of Michigan Leadership Style
Tim dari universitas Michigan menyimpulkan ada 2 tipe gaya kepemimpinan yaitu job-centered leadership style dan employee-centered leadership style.
Job-centered leadership style:
- Penekanan pada tujuan atau goal organisasi/perusahaan
- Pemimpin mengambil peran untuk menyelesaikan tugas demi mencapai tujuan
- Pemimpin selalu menekankan pada standar yang harus dicapai
- Pemimpin cenderung memerintahkan pada bawahan apa yang harus dilakukan
Employee-centered leadership style:
- Pemimpin berusaha untuk memenuhi kebutuhan karyawan
- Pemimpin cenderung untuk membangun hubungan yang baik dengan karyawan
- Pemimpin cenderung sensitive terhadap bawahan dan berkomunikasi untuk membangun kepercayaan, dukungan dan penghargaan sambil memikirkan kemakmuran mereka.
3. Gaya kepemimpinan transformasional (Transformational leadership style)
Gaya kepemimpinan transformasional dapat digunakan oleh kepemimpinan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengikut pada tingkat sempit (one-to-one level) sampai tingkat yang sangat luas yaitu ketika pemimpin ingin mempengaruhi keseluruhan organisasi dan bahkan budayanya.
Kepemimpinan menurut James MacGregor terdiri dari dua gaya, yaitu gaya transaksional dan gaya transformasional. Gaya transaksional adalah ukuran dalam model kepemimpinan transformasional yang difokuskan pada pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan pengikutnya. Contohnya politikus yang memenangkan pemilihan menjanjikan tidak akan ada pajak-pajak baru. Sedangkan gaya transformasional Burns (1978) dinyatakan sebagai proses ketika seorang individu terikat satu dengan yang lain dan menghasilkan hubungan yang dapat meningkatkan motivasi dan moral dalam diri pemimpin dan pengikut serta mencoba untuk membantu pengikut mencapai potensial secara maksimal.
Model kepemimpinan transformasional menurut Bass (1985) tidak dapat dipisahkan dari transaksional. Bass mengatakan kepimpinan transformasional memotivasi pengikutnya dengan cara sebagai berikut:
- meningkatkan tingkat kesadaran pengikut tentang pentingnya tujuan
- membuat pengikut untuk menyingkirkan kepentingan mereka sendiri dan berjuang untuk tujuan organisasi
- memikirkan tingkat kebutuhan pengikut yang lebih tinggi
Adapun faktor-faktor kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (1990) adalah:
Idealized influence charisma
Pemimpin sebagai role model yang kuat bagi pengikut sehingga pengikut sangat ingin menirunya. Pemimpin biasanya memiliki standar moral dan etika yang sangat tinggi dan tampak pada apa yang benar yang dikerjakan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin sangat menghormati bawahan dan memberikan kepercayaan kepada mereka. Bahkan pemimpin membagikan visi dan misi kepada pengikut.
Inspirational motivation
Pemimpin mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi kepada pengikut, menginspirasi mereka melalui memotivasi pengikut untuk mengambil komitmen dan menjadi bagian dalam visi organisasi. Pada prakteknya, pemimpin menggunakan simbol-simbol dan emosional untuk memfokuskan pengikut pada kepentingan organisasi lebih daripada kepentingannya sendiri.
Intellectual stimulation
Pemimpin merangsang pengikut untuk menjadi lebih creative dan inovatif. Hal ini akan sangat tampak ketika pengikut sedang mencoba sesuatu yang baru dan mengembangkan cara-cara inovatif agar sesuai dengan kebutuhan organisasi. Dengan demikian akan membangkitkan pemikiran para pengikut yang mungkin berbeda dari nilai-nilai pribadi karyawan itu sendiri serta memungkinkan pengikut akan terlibat pada pemecahan masalah.
Individualized Consideration
Pemimpin mau meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan pribadi dari pengikut. Pemimpin bertindak sebagai pelatih dan penasihat ketika mereka mendampingi pengikut dalam mencapai aktualisasi yang penuh.
Transformasional menghasilkan pengaruh yang lebih besar daripada transaksional, karena transaksional lebih mementingkan hasil yang diharapkan, sedangkan transformasional memusatkan pada kinerja.
Labor turn over
Sampai sepuluh tahun terakhir, studi absent dan pindah kerja biasanya dikaitkan dengan cukup kuat. Secara tradisional, absent merupakan katup pengaman untuk orang yang tidak puas dengan pekerjaannya. Pindah kerja merupakan makna terakhir bila tekanan menjadi terlalu besar.
Pindah kerja (keluar-masuk/turn over) dapat dibedakan dengan dua klasifikasi, yakni secara sukarela maupun tidak sukarela. Secara sukarela dari sisi organisasi dibedakan lagi menjadi fungsional dan disfungsional. Kasus pindah kerja disfungsional terjadi bila karyawan yang ingin meninggalkan perusahaan adalah seseorang yang ingin dipertahankan.
Penelitian variabel pribadi yang berkaitan dengan pindah kerja didominasi oleh penyelidikan kepuasan kerja karyawan. Dan pada akhirnya yang paling konsisten berkaitan dengan pindah kerja adalah lamanya bekerja dan keinginan yang dinyatakan untuk tinggal dengan organisasi. Tetapi pada penelitian lain, justru pindah kerja lebih tinggi pada orang yang memiliki kinerja rendah (Keller, 1984)
Sementara itu, sistem penghargaan dari suatu organisasi adalah pengaruh secara organisasional atau situasional terhadap pindah kerja (Danuyasa, 1998:516). Variabel situasional lain yang telah diteliti dalam konteks ini termasuk gaji, kesempatan promosi dan sejauh mana kerja pada satu jabatan adalah rutin.
Nitisemito (1991 :160-166) menyebutkan tingkat perpindahan buruh/karyawan yang tinggi adalah salah satu indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja yang dalam jangka panjang akan menurunkan kinerja perusahaan. Keluar masuknya karyawan (labor turn over) yang meningkat terutama disebabkan karena ketidaksenangan mereka bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai.
Ditegaskan pula oleh Nitisemito (1991:167-168), turunnya semangat dan kegairahan kerja itu karena banyak sebab, misalnya upah yang terlalu rendah, tidak cocoknya gaya kepemimpinan, lingkungan kerja yang buruk dan sebagainya. Untuk memecahkan persoalan tersebut maka perusahaan harus dapat menemukan penyebab dari turunnya semangat dan kegairahan kerja. Pada prinsipnya turunnya semangat dan kegairahan kerja disebabkan karena ketidakpuasan dari para karyawan. Sumber ketidakpuasan bisa bersifat material dan non material. Bersifat material, misalnya upah yang rendah, fasilitas yang minim dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat non material, misalnya penghargaan sebagai manusia, kebutuhan untuk berpartisipasi dan sebagainya.
Nitisemito juga menyampaikan beberapa cara untuk meningkatkan gairah dan semangat kerja (1991:168-181):
- Gaji yang cukup
- Memperhatikan kebutuhan rohani.
- Sekali-sekali perlu menciptakan suasana santai.
- Harga diri perlu mendapatkan perhatian.
- Menempatkan karyawan pada posisi yang tepat.
- Memberikan kesempatan pada karyawan untuk maju.
- Memperhatikan rasa aman menghadapi masa depan.
- Mengusahakan karyawan mempunyai loyalitas.
- Sekali-sekali mengajak karyawan berunding.
- Pemberian fasilitas yang menyenangkan.
METODE PENELITIAN
Untuk mendeskripsikan secara mendalam terhadap fenomena gaya kepemimpinan transformasional dan menghubungkannya dengan usaha karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan, dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi, sehingga mereka merasa betah bekerja di sebuah perusahaan, artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut (Bungin,2004:187):
a. Latar penelitian
Penelitian dilakukan di instansi swasta di Surabaya yang sedang menghadapi masalah tingginya labor turn over atau keluar masuknya karyawan ke dalam instansi tersebut terutama pada bagian/departemen tertentu dalam institusi tersebut. Dengan demikian latar penelitian yang ditetapkan dalam artikel ini adalah kelompok karyawan yang bekerja pada dua departemen yang berbeda dalam satu instansi swasta di Surabaya, yang pada Januari-Juni tahun 2007 jumlah karyawan yang keluar lebih dari 3 orang dan yang nihil.
b. Teknik pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah melakukan wawancara atau berbincang-bincang dengan karyawan pada departemen yang bersangkutan, melakukan pengamatan langsung dengan mendatangi instansi tersebut. Hasilnya berupa in depth interview yang berupa jawaban-jawaban, ucapan-ucapan ataupun perilaku yang tampak berdasarkan hubungan empati.
c. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa pertanyaan yang bersifat open-ended question. Selain itu untuk mendapatkan data, peneliti juga memberikan daftar pertanyaan kepada sekelompok karyawan untuk mengetahui pendapat mereka mengenai gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan atau atasan yang mencerminkan gaya transformasional.
d. Tahap-tahap penelitian
Penelitian ini memiliki dua tahap besar, yaitu:
- melakukan pengamatan dan wawancara awal pada objek penelitian
- melakukan verifikasi dan analisa hasil pengamatan dan wawancara
e. Analisis data
Dari data yang telah dikumpulkan, melalui wawancara, pengamatan dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada satu kelompok karyawan yang terdiri dari 10 orang dan bekerja di institusi yang sama, maka analisis terhadap datanya adalah sebagai berikut:
1. Variabel yang digunakan untuk menentukan apakah atasan/pimpinan memiliki gaya kepemimpinan transformasional atau tidak diambil dari faktor-faktor kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (1990) dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mempermudah penilaian, yaitu:
a. idealized influence charisma
Dalam penelitian ini, faktor idealized influence charisma diturunkan lagi menjadi variabel- variabel sebagai berikut:
- mampu menjadi contoh yang baik bagi karyawan
- memiliki standar moral dan etika yang tinggi
- menghargai bawahan/karyawan
- memberi kepercayaan penuh kepada bawahan dalam melakukan tugasnya
b. inspirational motivation
- memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan bawahan
- mampu memotivasi karyawan untuk menjalankan tugasnya dengan baik
c. intellectual stimulation
- mampu memacu timbulnya kreasi dan inovasi dari karyawan
- melibatkan karyawan dalam memecahkan masalah dalam perusahaan
d. individualized consideration
- mampu berempati terhadap karyawan
- mampu menjadi pelatih dan guru yang baik bagi karyawan dalam proses produksi
- mau mendengar keluhan karyawan
- mementingkan kebutuhan karyawan
2. Hasilnya:
1. Enam orang dari 8 karyawan dalam departemen yang diwawancara dan dimintai pendapat menyatakan bahwa pemimpin/atasan mereka pada departemen yang angka pengunduran diri karyawannya nihil, memenuhi hampir semua item penilaian gaya kepemimpinan transformasional di atas, terutama pada variabel idealized influence charisma, intellectual stimulation dan individualized consideration,. sehingga membuat tidak ada satupun dari para karyawan tersebut yang berniat mengundurkan diri.
2. Empat orang dari 5 karyawan dalam departemen yang tingkat pengunduran dirinya tinggi menyatakan terpikir untuk mengundurkan diri. Hal ini disebabkan atasan/pimpinan mereka tidak memberikan penghargaan yang baik kepada karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam memecahkan masalah dalam departemennya, kurang mendengarkan keluhan karyawan, serta tidak mampu memacu timbulnya kreasi dan inovasi dari karyawan. Sehingga dalam hal ini idealized influence charisma, intellectual stimulation dan individualized consideration sebagai variabel gaya kepemimpinan transformasional tidak dapat terpenuhi.
Meskipun demikian, mengingat tidak ada satupun pemimpin yang akan sempurna dalam satu gaya kepemimpinannya, akan tetapi melalui pengamatan langsung yang dilakukan penulis memperlihatkan bahwa pemimpin/atasan yang bergaya transformasional tergolong dekat dan akrab dengan bawahannya. Kebersamaan tercermin dari kegiatan makan siang bersama, hang-out bersama, dan seringkali dalam kegiatan bersama tersebut pemimpin memotivasi bawahannya dengan gaya informal melalui pembicaraan santai dan ringan serta diimbangi dengan keterbukaan bawahan mengenai ide-ide yang mereka punya dalam menyelesaikan pekerjaan. Bahkan tidak jarang bawahan juga menyampaikan keluhan-keluhan mereka dalam konteks pekerjaan. Dan berdasarkan wawancara, karyawan di departemen dengan angka pengunduran diri nihil, memperlihatkan bahwa atasan/pemimpin mampu memberikan contoh, misalnya: datang tepat waktu, menghargai orang lain, jujur dan berintegritas.
Menurut teori, gaya kepemimpinan transformasional dapat digunakan oleh kepemimpinan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengikut pada tingkat sempit (one-to-one level) sampai tingkat yang sangat luas yaitu ketika pemimpin ingin mempengaruhi keseluruhan organisasi dan bahkan budayanya. Gaya transformasional Burns (1978) dinyatakan sebagai proses ketika seorang individu terikat satu dengan yang lain dan menghasilkan hubungan yang dapat meningkatkan motivasi dan moral dalam diri pemimpin dan pengikut serta mencoba untuk membantu pengikut mencapai potensial secara maksimal. Dengan demikian, pada departemen pertama, dengan tingkat pengunduran diri nihil, pemimpin atau atasan dapat mempengaruhi pengikut/bawahannya dan pada akhirnya seorang individu, baik pimpinan atau bawahan akan terikat satu dengan yang lain, dan secara otomatis dapat membangkitkan motivasi dan moral pada kedua belah pihak, pimpinan dan bawahan, serta pengikut termotivasi untuk mencapai potensi yang maksimal.
Sedangkan pada departemen kedua, dengan tingkat pengunduran diri cukup tinggi, berdasarkan pengamatan, memperlihatkan pemimpin tidak mampu memberikan contoh kepada karyawan, baik mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan pekerjaan, ataupun di luar pekerjaan, misalnya penghargaan kepada orang lain, kejujuran, atau kedisiplinan dan integritas. Dari pengamatan langsung di lokasi, penulis memperhatikan bahwa pemimpin departemen ini jarang sekali terlihat bersama-sama dengan bawahannya, meskipun hanya untuk makan siang bersama-sama. Pertemuan antara pimpinan dan bawahan dilakukan pada situasi yang formal, seperti dalam rapat. Antara pimpinan dan bawahan jarang terlibat pembicaraan yang bersifat santai. Pimpinan/atasan cenderung menilai bawahan dari keberhasilan tugas yang diberikan tanpa menghargai atau memperhatikan proses pengerjaan. Sehingga bawahan harus mengulang pekerjaan yang menurut atasan salah. Atasan juga pernah mendorong bawahan untuk melakukan kreativitas tertentu, dan cenderung bekerja untuk kebaikannya sendiri. Dengan demikian pada departemen kedua ini, gaya kepemimpinan yang ditunjukkan lebih bersifat otokratik seperti yang dicetuskan pertama kali oleh Kurl Lewin pada tahun 1930, yaitu memerintah bawahan untuk melakukan apa yang diinginkan pemimpin dan menghendaki adanya pengawasan yang ketat pada karyawan.
Nitisemito (1991 :160-166) menyebutkan tingkat perpindahan buruh/karyawan yang tinggi adalah salah satu indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja yang dalam jangka panjang akan menurunkan kinerja perusahaan. Keluar masuknya karyawan (labor turn over) yang meningkat terutama disebabkan karena ketidaksenangan mereka bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai. Hal ini terjadi pada departemen yang kedua, dengan tingkat pengunduran diri yang tinggi. Pada prinsipnya turunnya semangat dan kegairahan kerja disebabkan karena ketidakpuasan dari para karyawan. Sumber ketidakpuasan bisa bersifat material dan non material. Bersifat material, misalnya upah yang rendah, fasilitas yang minim dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat non material, misalnya penghargaan sebagai manusia, kebutuhan untuk berpartisipasi dan sebagainya. Karena itu, yang terjadi pada departemen kedua adalah secara non material, kebutuhan karyawan tidak terpenuhi.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pengamatan di lapangan, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa seseorang yang bekerja sebagai karyawan biasa di suatu tempat kerja bukan hanya membutuhkan gaji dan fasilitas hidup yang baik, tetapi lebih kepada bagaimana dia merasa dihargai di tempat kerja tersebut dalam hal keikutsertaan berpartisipasi dan mendapatkan dukungan untuk melakukan kreasi dan inovasi. Sebagai karyawan biasa, kedua hal tersebut sangat tergantung pada kemampuan atasan/pimpinannya untuk memfasilitasinya. Jika atasan / pimpinan tidak dapat memberikannya, maka bisa dipastikan karyawan yang paling malas sekalipun akan merasa tidak betah dan akhirnya mengundurkan diri. Beberapa cara untuk meningkatkan gairah dan semangat kerja yang pada akhirnya akan membuat karyawan betah bekerja di tempat tersebut menurut Nitisemito (1991:168-181), adalah harga diri karyawan perlu mendapatkan perhatian, memberikan kesempatan pada karyawan untuk maju, sekali-kali mengajak karyawan berunding. Dan cara-cara tersebut dapat dilakukan dengan mudah oleh seorang atasan/pimpinan yang memiliki gaya kepemimpinan transformasional.
TINJAUAN PUSTAKA
A, Danuyasa. 1998. Psikologi Industri/organisasi Modern: Psikologi Terapan untuk Memecahkan Berbagai Masalah di Tempat Kerja, Perusahaan, Industri dan Organisasi. Penerbit Arcan: Jakarta
Bass, BM and B.J Avolio. 1994. Improving Organization Effectiveness Through Transformational. California: Sage Publication, Inc
Lussier, N. Richard and Christopher F. Achua. 2004. Leadership: Theory, Application and Skill Development.2nd Edition. United States : Thomson South Western
Nitisemito, Alex .1991. Manajemen Personalia.Edisi Kedelapan. Penerbit Ghalia Indonesia: Jakarta.
Northouse, Peter G. 2004. Leadership Theory and Practise. California: Sage Publication, Inc
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment